
Gaya Hidup Slow Living Terbukti Turunkan Risiko Penyakit Kronis
Rekam Digital , Surabaya – Di tengah dunia yang serba cepat, banyak orang mulai merasa jenuh dan kelelahan. Rutinitas yang padat, tekanan kerja yang tinggi, hingga kurangnya waktu istirahat membuat tubuh dan pikiran jadi gampang “drop”. Tapi menariknya, tahun 2025 justru membawa tren baru yang bisa dibilang jadi angin segar buat kesehatan: slow living.
Konsep Slow Living
Gaya hidup ini sederhana banget—intinya sih ngajak kita buat menjalani hidup dengan lebih santai dan penuh kesadaran. Mulai dari makan dengan tenang, tidur cukup, sampai meluangkan waktu untuk olahraga ringan dan meditasi. Bukan cuma omong kosong, ternyata dampaknya nyata.
Menurut data yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan RI pada awal April 2025, terjadi penurunan sebesar 12% dalam jumlah kasus baru penyakit kronis di kalangan usia produktif (25–45 tahun) di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya dibandingkan tahun sebelumnya. Salah satu faktor yang turut berkontribusi adalah meningkatnya minat masyarakat terhadap gaya hidup sehat berbasis kesadaran diri, termasuk slow living.
“Gaya hidup ini bukan sekadar tren, tapi transformasi perilaku yang mengubah cara seseorang memaknai waktu, pekerjaan, dan kesehatannya. Mereka yang menerapkan slow living cenderung memiliki tekanan darah yang lebih stabil, kualitas tidur yang lebih baik, dan angka stres yang lebih rendah,” ujar dr. Silvia Manurung, pakar kesehatan dari Universitas Indonesia.
Di sisi lain, industri wellness juga turut berkembang seiring dengan meningkatnya minat terhadap slow living. Munculnya kafe-kafe sehat, tempat yoga yang tersebar di berbagai titik kota, serta produk-produk natural seperti essential oil dan teh herbal, menjadi bagian dari ekosistem yang mendukung gaya hidup ini.
Dampak Slow Living
Salah satu contoh sukses datang dari komunitas “Hidup Pelan, Hati Tenang” di Jakarta Selatan. Komunitas ini rutin mengadakan kegiatan meditasi terbuka, kelas memasak sehat, dan diskusi mingguan tentang kesehatan mental. Dalam kurun waktu 6 bulan, anggotanya mengaku mengalami perubahan signifikan dalam kondisi tubuh dan psikis mereka.
“Dulu saya sering mengalami maag dan migrain karena stres kerja. Tapi sejak menerapkan prinsip slow living, saya jadi lebih bisa mengelola waktu dan emosi. Sekarang saya tidur lebih nyenyak dan jarang sakit,” ungkap Intan Rahayu, anggota komunitas tersebut.
Meski masih menghadapi tantangan dalam implementasinya—seperti budaya kerja yang masih mendorong produktivitas tinggi dan waktu istirahat minim—para ahli meyakini bahwa slow living dapat menjadi salah satu solusi jangka panjang untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia.
Dengan semakin banyaknya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental dan fisik, gaya hidup slow living diprediksi akan terus tumbuh di tahun-tahun mendatang sebagai bentuk perlawanan terhadap tekanan hidup modern yang melelahkan.
APLIKASI PENGHASIL UANG TERCEPAT 2025
Baca juga : Paddy Pimblett Pukul Mundur Michael Chandler